Orang kuat Indonesia Soeharto mengundurkan diri 25 tahun yang lalu minggu ini setelah protes dan kerusuhan di seluruh nusantara, beberapa di antaranya menargetkan minoritas etnis Tionghoa di negara itu.

Kepergian Soeharto setelah lebih dari 30 tahun berkuasa membawa kebebasan baru tidak hanya bagi orang Indonesia, yang sebagian besar beragama Islam, tetapi juga bagi orang Tionghoa Indonesia yang telah mengalami diskriminasi yang disponsori pemerintah sejak zaman kolonial dan sering menjadi fokus kekerasan karena dianggap kaya.
Soeharto menyebut pemerintahannya Orde Baru untuk menggarisbawahi fokusnya pada pemerintahan yang kuat dan terpusat yang erat hubungannya dengan militer.
Dia juga telah memelihara dan mengambil kebijakan untuk mencoba dan menganalisis etnis mayoritas warga tionghoa dan menjadikan mereka lebih “Indonesia”, tetapi secara efektif mengubah mereka menjadi warga negara kelas dua.
Mereka telah di paksa untuk memakai nama tuhan dan sering di minta untuk menunjukan surat tanda bahwa dia warga indonesia tidak seperti klompok etnis yang lainnya, sementara itu pertunjukan budaya seperti adat tionghoa dan perayaan tahun baru imlek yang sangat meriah dan atosias yang tidak di larang lagi.
Charlotte Setijadi, seorang asisten profesor humaniora di Singapore Management University, bagaimanapun, mengatakan rezim Soeharto "oportunistik" dalam perlakuannya terhadap orang Tionghoa, karena pemerintah bekerja sama dengan beberapa taipan etnis Tionghoa dalam upayanya untuk meningkatkan ekonomi.
Menurut sensus penduduk nasional tahun 2010, terdapat sekitar 2,8 juta orang etnis Tionghoa di Indonesia, dibandingkan dengan total penduduk sekitar 237 juta. Sensus terbaru pada tahun 2020 tidak mencantumkan etnis bangsa.
“Penting untuk ditekankan bahwa praktik diskriminatif dan narasi eksklusif tentang etnis Tionghoa tidak dimulai sejak periode Soeharto,” kata penulis buku Memories of Unbelonging: Ethnic Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia yang akan datang, kepada Al Jazeera.
Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, penguasa kolonial Belanda mengklasifikasikan etnis Tionghoa di tengah piramida sosial di bawah orang Eropa dan di atas apa yang disebut “penduduk asli” masyarakat Indonesia dalam kebijakan khas kolonial yang membagi-bagi-dan-memerintah.
BACA JUGA : INDONESIA TELAH AKHIRI SENGKETA PERBATASAN LAUT UNTUK MEMEPERTAHANKAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT
Menyusul pengunduran diri Soeharto, yang meninggal pada tahun 2008, negara ini membalikkan banyak undang-undang era Orde Baru.
Tahun Baru Imlek sekarang menjadi hari libur nasional, sementara Konfusianisme – yang secara lokal dikenal sebagai Konghucu telah diakui sebagai salah satu dari enam agama di negara tersebut. Sedangkan SBKRI tidak lagi dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang Tionghoa di indo nesia juga semakin meningkat dan terlihat mengikuti di bidang politik pada tahun 1998, yang termasuk salah satunya adalah mantan mentri pemerintah indonesia yaitu Mari Eka Pangestu dan mantan Gubernur jakarta Basuki purnama yang sering disebut dengan nama

“Kami telah melihat banyak perubahan yang benar-benar positif yang telah terjadi selama 25 tahun terakhir, tetapi tak pelak lagi, prasangka di tingkat komunitas dan harian masih ada,” kata Charlotte.
Dan saat Indonesia bersiap untuk pemilu tahun depan, warga Tionghoa Indonesia sadar bahwa mereka bisa menjadi target.
“Narasi anti-Tionghoa masih sangat hidup dan baik di bawah permukaan dan dapat digunakan untuk tujuan mobilisasi politik kapan pun keadaan politiknya prima,” kata Charlotte, yang telah meneliti politik identitas Tionghoa-Indonesia.
Ahok, misalnya, divonis dua tahun penjara setelah dia dituduh melakukan penistaan agama oleh kelompok Islam atas komentarnya saat dia berkampanye untuk masa jabatan Gubernur Jakarta yang kedua.
Al Jazeera bertanya kepada lima orang Tionghoa Indonesia yang tumbuh di bawah Soeharto, atau sejak 1998, tentang pengalaman mereka di negara multietnis dan multikultural itu.
Evi mariani sudah menjadi salah satu tiang yang mendrikan dan menjadi direktur eksekutif project yang Multatuli ada media yang sangat independent sedang memberitakan soal orang - orang yang di sampingkan di Indonesia sejak 2 tahun yang lalu
Lahir dan besar di Bandung, ibu kota provinsi Jawa Barat, dia sekarang tinggal di Tangerang Selatan dekat Jakarta dan memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai jurnalis.
Orang tua Evi menikah pada tahun 1970, tetapi bercerai pada tahun yang sama karena dokumen kewarganegaraan orang tuanya tidak terdaftar di catatan sipil indonesia sehingga mereka tidak di anggap sebagai orang indonesia.
Menurut catatan undnag - undnag indonesia yang tertera yang mengatakan, bahwa kewargaan saat itu, yang tidak ada anak - anak nya berati orang indonesia juga.
Perceraian itu berarti sementara anak-anak mereka akan “di luar nikah” mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia karena ibunya orang Indonesia dan surat-suratnya dianggap asli. Berita Terbaru
Orang tua Evi tetap bersama dan menikah lagi pada tahun 1999, sementara ayahnya mengurus semua dokumen untuk resmi menjadi warga negara Indonesia tahun itu.
Comments